ANEKDOT GURU "UMAR BAKRI"


Mengutip sepenggal lirik lagu kolosal berjudul “Umar Bakri”, yang pernah dikumandangkan penyanyi fenomenal, Iwan Fals, berbunyi...
Umar bakri, umar bakri, pegawai negeri...
Umar bakri, umar bakri, 40 tahun mengabdi ..
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati ..
Umar bakri, umar bakri, banyak ciptakan menteri...
Umar bakri, profesor, dokter insinyur pun jadi ..
Tapi mengapa gaji guru umar bakri seperti di kebiri?
Tidak perlu menjadi Oi (sebutan penggemar fanatik Iwan Fals), untuk mengerti lagu Umar Bakri ini. Lagu berjudul "Guru Umar Bakri" bahkan masih sangat relevan di putar hingga sekarang. Lagu ini sering digunakan sebagai bakcsound di media-media televisi saat Hari Raya Guru. Namun, lirik lagu di atas setidaknya juga dapat menggambarkan betapa malangnya nasib guru di Indonesia. Lirik lagu ini merupakan suatu ironi tentang nasib pegawai negeri, khususnya profesi pendidikan yang di emban oleh guru yang hanya diberikan gaji pas-pasan, dan justru menjadi korban korupsi yang dilakukan oleh orang-orang tertentu. Lebih tragis lagi, bahwa korban-korban penyelewengan tersebut, seolah-olah tidak berdaya untuk menghindar, sehingga dikatakan dengan kalimat..“jadi guru jujur berbakti memang makan hati”.

Lalu siapa sebenarnya sosok guru Umar Bakri? Mari kita lihat lirik lagu "Guru Umar Bakri" ini. Dia adalah seorang pegawai negeri yang loyalitasnya tanpa batas. Seorang guru yang sudah mengajar hingga 40 tahun lamanya. Pembawaannya terlampau sederhana dan jauh dari kemewahan. Setiap pergi mengajar, Umar Bakri menaiki sepeda kumbang dengan mententeng tas kulit berwarna hitam. Jasa Umar Bakri tak terhingga besarnya. Karenanya, Umar Bakri mampu menciptakan Profesor, Doktor, Insinyur, Menteri, dan bahkan membuat otak orang-orang menjadi cerdas layaknya Habibie.

Akan tetapi,penghargaan atas jasa-jasa besarnya tidak seberapa. Umar Bakri masih harus merasakan gaji bulanannya yang di kebiri. Kendati demikian, Umar Bakri tetap menjadi guru yang jujur dan berbakti pada negeri.

Tentu saja, tokoh Umar Bakri hanya tokoh fiktif alias rekaan semata. Umar Bakri hanya cerminan, bahkan mungkin implikasi harapan, dan bukan manusia nyata pada umumnya. Namun begitu, setidaknya Umar Bakri adalah representasi dari nasib para guru-guru di Indonesia, khususnya mereka yang berada di pedalaman, di pulau-pulau tak terjangkau dibumi Indonesia, yang kesejahterannya masih perlu ditambah lagi.

Persoalan guru, memang merupakan persoalan kompleks dalam peradaban sebuah bangsa yang merdeka. Majunya suatu negara, sangatlah ditentukan oleh maju-tidaknya pendidikan di negara tersebut. Hal ini berarti bahwa pembenahan segala aspek dan komponen yang terlibat dalam pendidikan, harus mendapat prioritas utama dalam pembangunan peradaban suatu negara. Indonesia adalah negara yang merdeka, dimana deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia ini, jelas terjadi pada saat dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun hingga saat ini, rasanya kemerdekaan itu belum mampu menjawab persoalan-persoalan mengenai bidang “profesi kependidikan”, khususnya mengenai efek dari kenaikan upah dan kesejahteraan profesi guru, serta masalah minimnya uji kelayakan mengajar guru, dan persoalan lainnya.

Upah Profesi Guru
Dalam realitas profesi kependidikan di Indonesia, kita sering bertemu dengan sosok guru yang bernasib sama dengan Umar Bakri. Dalam hal ini, gaji guru yang rendah kerapkali dikaitkan sebagai penyebab masih rendahnya mutu pendidikan di bangsa ini. Asumsinya, karena gaji rendah, maka banyak guru yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat di lihat dari masih banyaknya guru yang dianggap belum memiliki pengetahuan dan wawasan memadai untuk menunjang tugasnya sesuai tuntutan dunia pendidikan sekarang, yang tentu dikarenakan terbatasnya biaya untuk kegiatan yang bersifat pengembangan diri semisal melanjutkan kuliah, mengikuti seminar, membuat karya ilmiah, membeli buku serta mengakses internet, dll. Bahkan lebih jauh lagi, ada yang berasumsi bahwa semua persoalan yang ada, semata-mata diakibatkan oleh rendahnya gaji guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.

Presentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan, adalah sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Presentase kelayakan mengajar ini, jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs, baru sekitar 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S-2 ke atas dan 3,48% pendidikan S3 (World Bank, 2013).

Tak dapat dipungkiri bahwa, hampir sebagian besar guru di Indonesia berpendidikan rendah. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru, yang mempersyaratkan kualifikasi guru harus berpendidikan D-IV atau S-1, memang telah mendorong peningkatan kualifikasi guru. Undang-undang tersebut mengharuskan semua guru memiliki gelar sarjana (S-1) atau diploma D-IV sebelum tahun 2015. Sebelumnya di tahun 2004, banyak sekali guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi minimal. Pada waktu itu, 95% guru SD, 45% guru sekolah menengah pertama, dan 29% guru sekolah menengah atas mempunyai kualifikasi di bawah D-IV atau S-1.

Pada tahun 2006, presentase guru sekolah dasar yang memenuhi persyaratan kualifikasi melonjak 11% menjadi 16%, sedangkan guru sekolah menengah pertama dan atas, naik masing-masing sebesar 5% dan 10%. Walau sudah ada perbaikan, hanya 37% saja dari seluruh tenaga pendidikan saat ini yang sudah memiliki gelar D-IV atau S-1 (World Bank, 2013). Jika dilihat dari sisi kualifikasi dan kompetensi dari sekitar 2,191 juta guru SD dan SMP, 67% telah berkualifikasi sarjana S1 ke atas. Namun sekitar 43% yang bersertifikat pendidik, dan masih terdapat sekitar 57%-nya atau sekitar 12 juta guru yang belum memiliki sertifikat mengajar (Samto, 2014). Walaupun guru bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tapi pengajaran yang dilakukan guru merupakan titik sentral pendidikan, dan kualifikasi guru sebagai cermin kualitasnya sendiri. Guru sebagai tenaga pengajar, memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah, akan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia.

Adapun kebijakan perluasaan akses atau pemerataan dan kebijakan peningkatan mutu pendidikan, selalu terkait erat dengan ketersediaan guru. Kekurangan guru dalam hal ini tidak selalu disebabkan oleh permintaan guru yang melebihi ketersediaan, namun dalam banyak kasus, diakibatkan karena kurangnya guru yang berkualitas, guru yang memenuhi kriteria, dan guru berkompeten. Terjadinya kekurangan guru seringkali merefleksikan adanya ketersediaan guru yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau ketidaksesuaian dalam penempatan guru (Ngalim, 2007).

Dalam konteks dimana suatu daerah memperluas akses pendidikannya, ditemukan bahwa seringkali pemangku kepentingan di daerah yang dimaksud, lebih mengorbankan kualitas guru agar guru yang dibutuhkan dapat tercukupi dengan cepat, yang biasanya dalam jumlah yang besar.

Penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2011) menunjukkan, bahwa kebijakan yang seperti itu berdampak langsung terhadap rendahnya mutu atau kualitas seorang guru. Seharusnya kualitas guru memiliki pengaruh berantai terhadap komponen pendidikan lainnya, sehingga nantinya peningkatan kualitas guru secara nasional, dapat menjadi program strategis.

Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal. Ini merupakan tantangan terbesar pengembangan guru dalam pemenuhan standar kualifikasi dan kompetensi guru. Salah satu bukti empiris dapat ditemukan dalam laporan UNESCO pada tahun 2012 yang melaporkan bahwa, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan. Total nilai EDI ini diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu 1) angka partisipasi pendidikan dasar, 2) angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, 3) angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan 4) angka bertahan siswa hingga kelas V Sekolah Dasar.

Sementara dalam laporan The United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2011, dipaparkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) di negara Indonesia, mengalami penurunan dari peringkat 108 pada tahun 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012, dari 180 negara. Sementara pada tanggal 14 Maret 2013, UNESCO melaporkan adanya kenaikan peringkat yaitu tiga peringkat menjadi urutan ke-121 dari 185 negara. Data ini meliputi aspek tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan. Walaupun terjadi kenaikan dengan mempertimbangkan jumlah negara yang berpartisipasi, namun hasil tersebut sebenarnya menunjukkan Indonesia tidak naik peringkat (Kompasiana, 2013).

Secara umum, dapatlah dikatakan bahwa apabila seseorang sudah memenuhi kualifikasi tertentu, maka secara otomatis, kompetensi orang yang bersangkutan, akan pula mengikuti kualifikasi tersebut. Di Indonesia, terjadi kecenderungan penafsiran yang keliru dalam penggunaan istilah ini, dimana kualifikasi tertentu biasanya tidak selalu mencerminkan kompetensinya.

Tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, haruslah memiliki kualifikasi atau kelayakan minimal, yang dibuktikan dengan ijazah, atau sertifikat keahlian yang relevan dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kecakapan untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Namun, seseorang yang tidak memiliki ijazah atau sertifikat, tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan, dapat pula diangkat menjadi pendidik, setelah ia melewati uji kelayakan dan kesetaraan (Mulyasa, 2010).

Jadi, untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, maka keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan, mutlak adanya. Dua unsur ini, bisa saling mendukung satu sama lain. Tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah, adalah mereka yang memiliki kualiflkasi akademik sebagai pendidik, pengelola, dan tenaga penunjang pendidikan.

Berbagai persoalan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, jelas menjadikan kredibilitas kurang baik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia—khususnya “profesi kependidikan”. Untuk itu, kebijakan dan program strategis khusus bagi guru, sangatlah diperlukan. Apalagi mengingat peran vital guru dalam membimbing generasi muda sebagai tulang punggung negara (Driyarkara, 1980).

Posting Komentar

Copyright © SMK Teknologi Pendidikan Indonesia | Designed by. ABDY BUSTHAN